Lebih dari 20 Tahun Belum di Sahkan! Apakah RUU PPRT Hanyalah Sebuah Angan-Angan?
 
Lebih dari 20 tahun lamanya, perjuangan untuk menghadirkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) terus bergulir tanpa kejelasan. Sejak pertama kali diusulkan, regulasi ini menjadi simbol perjuangan kaum pekerja domestik mayoritas perempuan yang selama ini berada di area abu-abu hukum ketenagakerjaan Indonesia.
Padahal, di tengah meningkatnya kebutuhan tenaga perawatan akibat bonus demografi dan penuaan penduduk, peran pekerja rumah tangga (PRT) kian vital dalam menopang ekonomi nasional. Namun, tanpa dasar hukum yang kuat, jutaan PRT di Indonesia masih menghadapi eksploitasi, jam kerja panjang, upah rendah, dan minim perlindungan sosial.
Konteks dan Urgensi RUU PPRT di Indonesia
Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) antara Bappenas dan PT Cicana Indonesia (30 Oktober 2025), isu perlindungan PRT kini menjadi bagian dari strategi besar Peta Jalan Ekonomi Perawatan Nasional. Dalam forum tersebut, berbagai pihak dari pemerintah, lembaga sosial, hingga startup digital sepakat bahwa RUU PPRT tidak boleh lagi ditunda.
Menurut data Sakernas 2024 yang dipaparkan oleh Dr. Vivi Alatas, 98% PRT adalah perempuan, dengan 85% berpendidikan SD–SMP, dan 60% bekerja lebih dari 70 jam per minggu. Lebih dari separuh menerima upah di bawah Rp10.000 per jam, sementara hanya 18,5% yang memiliki jaminan sosial.
Kondisi ini menggambarkan betapa rentan posisi PRT di Indonesia padahal mereka berperan penting dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi keluarga urban.
RUU PPRT: Lebih dari Sekadar Perlindungan, Ini Soal Keadilan Sosial
RUU PPRT bukan sekadar produk hukum; ia adalah pengakuan atas martabat manusia. Seperti disampaikan oleh Ibu Jumisi dari JALA PRT, perjuangan dua dekade ini bukan hanya untuk mendapatkan hak-hak dasar seperti jam kerja wajar, upah layak, dan cuti berbayar, tetapi juga untuk menghapus stigma sosial terhadap profesi pekerja rumah tangga.
RUU ini diharapkan menjadi payung hukum komprehensif yang meliputi:
- Kontrak kerja tertulis antara pekerja dan pemberi kerja.
- Standar jam kerja dan istirahat.
- Kewajiban pendaftaran jaminan sosial (BPJS).
- Mekanisme pengaduan dan perlindungan dari kekerasan.
- Pengakuan hak berserikat dan pelatihan kompetensi.
Tanpa landasan hukum, pekerjaan perawatan domestik akan terus berada dalam sektor informal tanpa perlindungan — padahal mereka adalah bagian dari ekonomi produktif nasional.
Perbandingan Internasional: Belajar dari Filipina dan Thailand
Dalam paparannya, Dr. Vivi Alatas menyoroti dua negara Asia Tenggara yang telah lebih maju dalam melindungi pekerja domestik:
- Filipina sudah memiliki UU Perlindungan PRT (Domestic Workers Act) yang mengatur kontrak kerja wajib, standar upah, dan jaminan sosial.
- Thailand, meskipun belum sepenuhnya formal, telah menetapkan standar jam kerja dan cuti berbayar, serta perlindungan dasar terhadap kekerasan kerja.
Indonesia tertinggal jauh. Padahal, dengan jumlah pekerja domestik yang mencapai jutaan, potensi dampak ekonomi dari formalisasi sektor ini sangat besar, baik dalam peningkatan produktivitas maupun penerimaan pajak.
Digitalisasi: Jalan Baru Mengatur dan Melindungi PRT

Salah satu hal paling menarik dalam diskusi FGD Bappenas adalah pemaparan dari Ibu Anisa, Direktur PT Cicana Indonesia, yang memperkenalkan model digitalisasi sektor perawatan melalui platform Cicana.co.
Platform ini memfasilitasi proses rekrutmen, pelatihan, dan verifikasi pekerja rumah tangga secara digital. Dengan lebih dari 149.000 pengguna aktif dan hampir 14.000 lowongan aktif, Cicana menunjukkan bahwa ekosistem kerja PRT bisa dikelola dengan transparan, efisien, dan aman.
Beberapa fitur inovatifnya antara lain:
- Pelatihan wajib soft skill dan attitude service sebelum penempatan.
- Sistem rating dua arah antara pemberi kerja dan pekerja.
- Database nasional pekerja perawatan berbasis digital.
Langkah digitalisasi ini bukan hanya mempermudah rekrutmen, tetapi juga membuka peluang pengawasan dan perlindungan hukum berbasis data, sejalan dengan visi Bappenas dalam memperkuat ekonomi perawatan nasional.
Peluang Ekonomi Perawatan: Sektor Strategis Masa Depan
Direktur Ketenagakerjaan Bappenas, Ibu Hygiwati, menegaskan bahwa ekonomi perawatan (care economy) merupakan motor baru pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dengan meningkatnya populasi lansia (diperkirakan 20% penduduk berusia di atas 65 tahun pada 2050), kebutuhan tenaga perawatan akan melonjak drastis. Ini berarti, sektor perawatan — termasuk pekerja rumah tangga, pengasuh anak, dan caregiver — harus segera diformalkan dan diatur secara nasional.
Formalisasi sektor ini akan berdampak besar pada:
- Peningkatan kualitas layanan rumah tangga.
- Penciptaan lapangan kerja layak bagi perempuan.
- Kontribusi signifikan terhadap PDB nasional.
- Peningkatan partisipasi tenaga kerja perempuan (yang kini baru 54%).
Tantangan dan Hambatan Pengesahan RUU PPRT
Meski urgensinya tinggi, RUU PPRT terus tersandera oleh tarik-ulur politik dan birokrasi. Banyak pihak yang masih memandang pekerjaan rumah tangga sebagai urusan privat, bukan sektor ekonomi yang layak diatur.
Hambatan lain yang diungkap dalam FGD antara lain:
- Minimnya koordinasi antar lembaga dalam pengawasan pekerja rumah tangga.
- Belum adanya standar upah nasional untuk sektor domestik.
- Kurangnya kesadaran publik dan pemberi kerja terhadap hak-hak PRT.
- Stigma negatif bahwa pekerja rumah tangga tidak memerlukan pelatihan atau sertifikasi.
Tanpa kemauan politik yang kuat, RUU PPRT akan terus menjadi dokumen di atas meja bukan realitas di lapangan.
Kolaborasi Lintas Sektor: Kunci Ekosistem yang Berkeadilan
Dari hasil FGD antara Bappenas dan Cicana, terdapat tujuh rekomendasi utama untuk memperkuat ekosistem pekerja perawatan nasional:
- Segera mengesahkan RUU PPRT sebagai dasar perlindungan hukum.
- Mewujudkan formalisasi kerja perawatan dengan kontrak, upah, dan jaminan sosial.
- Mengakui sektor perawatan sebagai bagian produktif ekonomi nasional.
- Membangun kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, swasta, dan lembaga sosial.
- Mengembangkan sistem data dan pelatihan digital nasional.
- Menetapkan sertifikasi nasional pekerja rumah tangga.
- Memperkuat layanan pendukung daerah seperti pelatihan, daycare, dan pengaduan pekerja.
Jika diterapkan dengan konsisten, kebijakan ini akan membuka jalan bagi ekosistem kerja domestik yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Dari Angan-Angan Menuju Aksi Nyata

Dua dekade perjuangan bukan waktu yang singkat. Namun, momentum saat ini dengan dukungan Bappenas, Kemenaker, dan inisiatif digital seperti Cicana.co menunjukkan bahwa perubahan mulai nyata.
RUU PPRT bukan lagi sekadar angan-angan di meja legislatif, melainkan panggilan moral dan ekonomi bagi bangsa untuk menghormati setiap bentuk pekerjaan manusia.
Sudah saatnya negara hadir sepenuhnya bukan hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pelindung bagi mereka yang selama ini merawat kehidupan dari balik pintu rumah.
 
                 
                